Minggu, 08 Juni 2014


Jatuhnya Seorang Pemimpin Studi Kasus: Sebuah Grand Strategy dibalik Lengsernya Presiden Soekarno


Membicarakan masalah pemimpin dan kepimimpinan merupakan suatu hal yang menarik dari waktu ke waktu. Setiap zaman dan setiap periode waktu memiliki kisah tentang pemimpin dan kepemimpinannya masing-masing yang menarik untuk disimak dan dianalisis. Mulai dari kisah keberhasilannya, kebijakan-kebijakannya, hingga masa terpuruk dan lengsernya pemimpin-pemimpin tersebut dari tahta kekuasaannya. Untuk itu, persoalan pemimpin dan kepemimpinan selalu menjadi perhatian masyarakat.
Kepemimpinan kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan pembuatan keputusan, ada juga yang mengartikan suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama (Miftah Thoha, 1983). Lebih jauh lagi George R. Terry dalam Principle of Management merumuskan bahwa kepemimpinan itu adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang agar diarahkan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan pemimpin menurut Wikipedia (2010) adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk berpikir, bertindak, dan berperilaku sebagaiman yang ia harapkan.
Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada masyarakat. Di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin (Miftah Thoha, 1983). Di sinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.
Kecenderungan manusia sebagai mahluk sosial menjadikannya tidak dapat hidup sendiri dan selalu bergantung pada orang lain. Untuk itu manusia selalu berkelompok-kelompok membentuk suatu komunitas, grup, organisasi dari yang tingkatannya RT, desa hingga Negara. Menurut Miftah Thoha (1983), di dalam kelompok-kelompok tersebut sangat dibutuhkan sosok seorang pemimpin lengkap dengan gaya kepemimpinnya. Pentingnya akan kehadiran seorang pemimpin dalam organisasi akan sangat terasa ketika terjadi suatu konflik atau perselisihan di antara orang-orang dalam kelompok, maka orang-orang mencari cara pemecahan supaya terjamin keteraturan dan dapat ditaati bersama. Terbentuklah aturan-aturan, atau norma-norma tertentu untuk ditaati agar konflik tidak terulang. Di sini orang-orang mulai mengidentifikasikan dirinya pada kelompok, kehidupan bersama sangat dibutuhkan, dan konflik perlu dihindari. Dalam hal ini peranan pemimpin sangat dibutuhkan.
Peranan pemimpin dalam organisasi juga sangat dirasakan dalam sebuah organisasi negara Indonesia yang pada saat itu baru berhasil memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945. Dalam usianya yang masih sangat dini, berbagai masalah multidimensional mulai dari kemiskinan, kebodohan, rentannya sistem pertahanan, kolonialisme dan imperialisme yang masih mengintai, ditambah manajemen organisasi yang belum terlalu matang, membuat Indonesia pada saat itu benar-benar membutuhkan sosok seorang pemimpin yang tangguh, berwawasan luas, serta memiliki strategi yang jitu demi membawa organisasi negara mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945.
Indonesia sangat beruntung, pada saat itu memiliki putra terbaik, negarawan, proklamator, dan founding father Ir. Soekarno. Bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya Ir. Soekarno mulai memperjuangkan masa depan bangsa sejak usia mudanya, hingga berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka serta berdaulat penuh. Karena sepak terjangnya tersebut, sehingga sosok Soekarno merupakan sosok pemimpin yang tahu harus dibawa kemana masa depan Indonesia. Perlu diketahui pula bahwa Ir. Soekarno bersama Bung Hatta dan Bung Sjahrir merupakan sosok-sosok pemimpin pada awal kemerdekaan yang sangat menonjol baik di dalam maupun di luar negeri.
Bung Karno sendiri adalah sosok yang ikut mengusulkan dasar negara, membuat teks proklamasi hingga merumuskan Undang-Undang 1945. Di tengah segala keterbatasan dan kekurangannya pada saat itu, beliau berusaha keras untuk menjaga persatuan dan keamanan agar Indonesia tidak lagi dijajah oleh bangsa asing. Seiring berjalannya waktu, kondisi negara baru ini semakin mapan, Bung Karno berusaha mengantarkan Indonesia menjadi negara yang tidak hanya berkutat dengan dirinya sendiri tetapi juga memiliki funsi dan peran strategis dalam percaturan dunia Internasional. Salah satu agenda internasional yang paling sukses dipelopori Indonesia adalah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung, dimana konferensi tersebut manjadi pelecut semangat bangsa Asia Afrika yang belum merdeka untuk memerdekakan diri.
Bung Karno juga merupakan pemimpin yang paling vokal menyuarakan agar menjadi bangsa yang mandiri, tidak bergantung pada bangsa asing meskipun pada saat itu Indonesia merupakan negara yang masih rapuh secara politik, ekonomi serta sosial. Secara logika Indonesia pada saat itu sangat membutuhkan bantuan negara-negara maju untuk menutup berbagai kekurangannya. Namun ternyata hal itu tidak dilakukan oleh Bung Karno. Beliau justru memiliki inisiatif untuk membangun kemandirian bangsa. Salah satu kebijakan paling berani yang diambil Soekarno adalah upayanya untuk mengganyang Malaysia, hal itu terjadi karena Soekarno sangat marah ketika Malaysia memutuskan untuk menjadi commonwealth atau negara persemakmuran Inggris. Soekarno beranggapan bahwa kepeutusan Malaysia tersebut bertentangan dengan ideologinya yang anti kolonialisme dan imperealisme. Hal itu merupakan suatu langkah luar biasa yang belum tentu berani diambil oleh Presiden Indonesia di era moderen ini.
Tetapi kepemimpinan Bung Karno ternyata tidak selamanya mulus. Duet antara duo proklamator RI harus berakhir karena Bung Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi wakil presiden. Pengunduran diri tersebut disinyalir akibat ketidakcocokan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Selain itu kepercayaan Bung Karno terhadap ideologi Nasakomnya yang membuat beliau dekat dengan orang-orang PKI menjadikannya sebagai seorang yang mulai dibenci oleh masyarakat. Lebih jauh hal, itu juga menjadi senjata ampuh bagi lawan-lawan politiknya untuk melengserkan kekuasaan Soekarno dari kursi kepresidenan. Meskipun berdasar TAP No III/ MPRS/63 beliau telah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup.
Peristiwa G 30 S Sebagai Titik Balik Kepemimpinan Bung Karno
Setiap pemimpin memiliki masa kepemimpinannya masing-masing. Sebaik apapun kepemimpin seorang pemimpin pada akhirnya harus lengser dari kursi pemerintahan dikarenakan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Untuk kasus Presiden Soekarno sendiri, ia lengser karena peristiwa Gerakan 30 September 1965, dimana pada saat itu terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa jendral. Meskipun hingga saat ini belum terungkap akan kebenaran latar belakang serta siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa tersebut tetapi secara de facto peristiwa G 30 S adalah titik balik kepemimpinan Soekarno.
Ada bebarapa pendapat yang berkembang seiring terjadinya peristiwa G 30 S/PKI, pendapat-pendapat itu antara lain:
1. Teori Cornel Paper ( Benedict Anderson & Ruth T. McVey)
Teori ini mengatakan bahwa sesungguhnya peristiwa G 30 S adalah akibat konflik intern AD, karena kekecewaan terhadap kepemimpinan TNI-AD.
2. Teori Peter del Scoot
Peristiwa G 30 S meletus karena adanya keteribatan CIA yang menunggangi kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan akhir jatuhnya Soekarno. Seperti kita tahu ketegasan Soekarno untuk menolak kolonialisme dan imperialisme menjadi batu sandungan bagi Amerika untuk menguras sumber daya alam Indonesia. Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Amerika, Richard nixon, bahwa kejatuhan Soekarno merupakan hadih terbesar dari Asia Tenggara. Setelah rezim Soekarno berakhir dan digantikan Soekarno hubungan antara Indonesia dan Amerika menjadi sangat mesra.
3. Teori WF Wertheim
Teori ini menyatakan bahwa ada keterlibatan Soeharto dalam peristiwa ini. Hal itu terlihat dari kedekatannya dengan perwira AD yang terlibat dengan peristiwa 30 Sep. Di samping kedekatannya tersebut ada peristiwa Supersemar menjadi tanda tanya besar, karena dengan Sp tersebut Soeharto mengambil alih pemerintahan dari tangan Soekarno.
4. Teori Antony Dake
Soekarno mengetahui rencana dan perist tsb, hal ini berdasar dokumen CIA The Coup That Backfired )terbit th 1995. kepala penerangan hankam Brigjend Sugandi, memberitahukan hasil pembicaraannya dengan sudisman dan DN Aidit kepada presiden tentang rencana kudeta, namun presiden menganggap Sugandi komunis phobia.
5. Teori Domino : saling terkait beberapa teori.
6. Pendapat lain mengatakan bahwa sesungguhnya PKI dan AD sudah sejak lama bersaing. Mereka sama-sama berusaha memperebutkan kekuasaan tertinggi. Oleh sebab itu peristiwa G 30 S menjadi alasan untuk menghabisi PKI.
Terlepas dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa tersebut, yang jelas G 30 S telah membuat Presiden Soekarno kehilangan harkat dan martabatnya di depan rakyat. Rakyat pada saat itu telah kehilangan kepercayaan. Sikapnya yang cenderung otoriter dan memberi angin segar kepada kaum kiri membuat rakyat semakin meninggalkannya. Ia bahkan mengatakan bahwa peristiwa 1 Oktober 1945 merupakan riak kecil dalam gelombang yang besar. Ia menolak tuduhan bahwa PKI terlibat dalam peristiwa itu. Ia membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili tokoh-tokoh yang bersalah tetapi Ia tidak mau mengutuk PKI. Bahkan Presiden Soekarno terus menerus mempropagandakan Nasakom. Ini oleh rakyat dan ABRI diartikan sebagai membela PKI, karena itu popularitas dari hari ke hari semakin menurun (Mudjanto, 1989)
Kesalahan terbesar lain yang dilakukan Presiden Soekarno menurut Mudjanto (1989) adalah keputusannya mereshuffle Kabinet Dwikora pada tanggal 21 Februari 1966, dimana reshuffle tersebut tidak sesuai dengan Tritura yang disuarakan mahasiswa. Hal itu dikeranakan dalam reshuffle tersebut Presiden Soekarno menyingkirkan Jendral Nasution yang oleh rakyat begitu dihormati dan dianggap sebagai simbol anti komunis. Di sisi lain beliau justru memasukkan orang-orang yang di indikasi PKI atau pro PKI justru dimasukkan ke dalam kabinet. Sehingga kabinet ini semakin memperbesar kekecewaan rakyat terhadap presiden.
Meskipun sesungguhnya presiden memiliki perhitungan politik tersendiri mengapa ia memilih mengeliminasi nama Nasution dari jajaran kabinetnya. Berdasarkan tulisan A. Pambudi dalam Super Semar Palsu (2006) bahwa sesungguhnya Presiden Soekarno dan Nasution sudah lama berbeda haluan. Nasution mengharapkan bahwa ABRI juga memiliki kekuasaan dalam bidang politik hingga bisnis. Namun Presiden Soekarno tidak menginginkan adanya dwifungsi ABRI. Akibat keinginannya yang ditentang Soekarno maka pada tahun 1952 Jendral Nasution bersama anak buahnya melakukan kudeta dengan mengarahkan meriam ke arah istana. Namun kudeta tersebut gagal.
Supersemar yang akhirnya mengalihkan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto juga disinyalir sebagai rancangan matang dari Nasution-Soeharto Conection. Karena pada dasarnya mereka dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu bagaimana menjatuhkan musuh mereka, Soekarno. Maka bila dianalisis berdasarkan fakta tersebut adalah hal yang wajar ketika Presiden Soekarno memilih untuk menyingkarkan Nasution dari kursi kabinet apabila ia ingin mempertahankan kekuasaannya.
Pentingnya Kepercayaan Rakyat
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa jatuhnya orde lama adalah karena hilangnya kepercayaan rakyat terhadap Presiden Soekarno. Walaupun sesungguhnya dibalik semua peristiwa dan tragedi yang membuat rakyat tidak lagi percaya pada Soekarno adalah grand strategy lawan-lawan politiknya. Misalnya upaya Soeharto mendramatisir kondisi korban-korban G 30 S dengan mengtakan bahwa mereka disika sebelum dibunuh, disayat, di ambil bola mata, hingga di potong kemaluannya membuat rakyat semakin membenci PKI dan labih jauh semakin membenci Presiden Soekarno. Padahal sesungguhnya kondisi tersebut tidak benar adanya. Karena menurut kesaksian tim dokter Forensik dari Universitas Indonesia yang pada saat itu ikut mengotopsi korban tidak menyatakan demikian adanya.
Namun sayang rakyat terlanjur melihat dari perspektif berbeda. Untuk itu kepercayaan rakyat adalah hal yang sangat penting. Karena jabatan ketua, kepala atau bahkan presiden merupakan jabatan untuk memimpin banyak orang yang dengan kata lain setiap sikap, tindakan, dan kebijakannya harus didasarkan atas keinginan dan persetujuan rakyat. Tanpa adanya keinginan dan persetujuan rakyat maka posisinya sebagai pemimpin akan sangat rentan. Sehingga pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengakomodir kehendak-kehendak rakyat dan mampu mengambil kebijakan yang pro rakyat. Untuk itu, ia akan memiliki power yang kuat selama kepemimpinananya.
Grand Strategy
Terlepas dari kondisi sosial politik yang carut marut apada saat itu diakui atau tidak, fakta sejarah tahun 1965-1967 yang semakin hari semakin terungkap sedikit demi sedikit sesungguhnya menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah grand strategy atau bahkan dapat dikatakan sebuah konspirasi yang telah direncanakan secara matang dan terstruktur untuk melengserkan kepemimpinan presiden, dalam hal ini adalah presiden Soekarno. Mereka yang terlibat sepertinya sangat kompleks dan rumit untuk ditelusuru satu per satu. Karena berdasakan beberapa teori yang berkembang sesungguhnya terdapat efek domino dimana pihak satu menginginkan lengsernya Soekarno kemudian ia menunggangi pihak lain dengan berbagai bantuan, pihak lain tersebut kemudian mendekati orang-orang dinilai memiliki pandangan yang sama tentang Bung Karno, kemudian mendoktrin masyarakat dengan informasi-informasi yang tidak akurat, membuat rakyat semakin membenci Soekarno dan pada akhirnya Soekarno benar-benar lengser dari kepemimpinannya.
Setelah segala upaya yang dilakukan akhirnya Presiden Soeharto menduduki kursi kepresidenan untuk menggantikan Presiden Soekarno karena pidato pertanggungjawabannya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara (9 Pokok UraianI) di tolak MPRS. Beliau kembali melengkapi pertanggungjawaban tersebut pada tanggal 10 Januari 1967, namun surat tersebut tidak memuakan karena dinilai hanya sebuah pengelakan tanggung jawab daripada pertanggungjawaban.
Karena alasan-alasan di atas maka pada tanggal 22 Februari 1967 MPRS mengeluarkan TAP XXXIII/MPRS/1967 yang isinya:
1. Mencabut kekuasaan negara dari Presiden Soekarno
2. Melarang Ir. Soekarno melakukan kegiatan politik sampai pemilu yang akan datang.
3. Mentapkan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden
Sejak saat itu kepemimpinan orde baru benar-benar berakhir dan secara resmi digantikan oleh orde baru.
Tags: 

Minggu, 08 Juni 2014


Jatuhnya Seorang Pemimpin Studi Kasus: Sebuah Grand Strategy dibalik Lengsernya Presiden Soekarno


Membicarakan masalah pemimpin dan kepimimpinan merupakan suatu hal yang menarik dari waktu ke waktu. Setiap zaman dan setiap periode waktu memiliki kisah tentang pemimpin dan kepemimpinannya masing-masing yang menarik untuk disimak dan dianalisis. Mulai dari kisah keberhasilannya, kebijakan-kebijakannya, hingga masa terpuruk dan lengsernya pemimpin-pemimpin tersebut dari tahta kekuasaannya. Untuk itu, persoalan pemimpin dan kepemimpinan selalu menjadi perhatian masyarakat.
Kepemimpinan kadangkala diartikan sebagai pelaksanaan pembuatan keputusan, ada juga yang mengartikan suatu inisiatif untuk bertindak yang menghasilkan suatu pola yang konsisten dalam rangka mencari jalan pemecahan dari suatu persoalan bersama (Miftah Thoha, 1983). Lebih jauh lagi George R. Terry dalam Principle of Management merumuskan bahwa kepemimpinan itu adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang agar diarahkan mencapai tujuan organisasi. Sedangkan pemimpin menurut Wikipedia (2010) adalah seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk berpikir, bertindak, dan berperilaku sebagaiman yang ia harapkan.
Kepemimpinan dibutuhkan manusia, karena adanya suatu keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu pada masyarakat. Di satu pihak manusia terbatas kemampuannya untuk memimpin, di pihak lain ada orang yang mempunyai kelebihan kemampuan untuk memimpin (Miftah Thoha, 1983). Di sinilah timbulnya kebutuhan akan pemimpin dan kepemimpinan.
Kecenderungan manusia sebagai mahluk sosial menjadikannya tidak dapat hidup sendiri dan selalu bergantung pada orang lain. Untuk itu manusia selalu berkelompok-kelompok membentuk suatu komunitas, grup, organisasi dari yang tingkatannya RT, desa hingga Negara. Menurut Miftah Thoha (1983), di dalam kelompok-kelompok tersebut sangat dibutuhkan sosok seorang pemimpin lengkap dengan gaya kepemimpinnya. Pentingnya akan kehadiran seorang pemimpin dalam organisasi akan sangat terasa ketika terjadi suatu konflik atau perselisihan di antara orang-orang dalam kelompok, maka orang-orang mencari cara pemecahan supaya terjamin keteraturan dan dapat ditaati bersama. Terbentuklah aturan-aturan, atau norma-norma tertentu untuk ditaati agar konflik tidak terulang. Di sini orang-orang mulai mengidentifikasikan dirinya pada kelompok, kehidupan bersama sangat dibutuhkan, dan konflik perlu dihindari. Dalam hal ini peranan pemimpin sangat dibutuhkan.
Peranan pemimpin dalam organisasi juga sangat dirasakan dalam sebuah organisasi negara Indonesia yang pada saat itu baru berhasil memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945. Dalam usianya yang masih sangat dini, berbagai masalah multidimensional mulai dari kemiskinan, kebodohan, rentannya sistem pertahanan, kolonialisme dan imperialisme yang masih mengintai, ditambah manajemen organisasi yang belum terlalu matang, membuat Indonesia pada saat itu benar-benar membutuhkan sosok seorang pemimpin yang tangguh, berwawasan luas, serta memiliki strategi yang jitu demi membawa organisasi negara mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam pembukaan UUD 1945.
Indonesia sangat beruntung, pada saat itu memiliki putra terbaik, negarawan, proklamator, dan founding father Ir. Soekarno. Bersama tokoh-tokoh pejuang lainnya Ir. Soekarno mulai memperjuangkan masa depan bangsa sejak usia mudanya, hingga berhasil membawa Indonesia menjadi negara yang merdeka serta berdaulat penuh. Karena sepak terjangnya tersebut, sehingga sosok Soekarno merupakan sosok pemimpin yang tahu harus dibawa kemana masa depan Indonesia. Perlu diketahui pula bahwa Ir. Soekarno bersama Bung Hatta dan Bung Sjahrir merupakan sosok-sosok pemimpin pada awal kemerdekaan yang sangat menonjol baik di dalam maupun di luar negeri.
Bung Karno sendiri adalah sosok yang ikut mengusulkan dasar negara, membuat teks proklamasi hingga merumuskan Undang-Undang 1945. Di tengah segala keterbatasan dan kekurangannya pada saat itu, beliau berusaha keras untuk menjaga persatuan dan keamanan agar Indonesia tidak lagi dijajah oleh bangsa asing. Seiring berjalannya waktu, kondisi negara baru ini semakin mapan, Bung Karno berusaha mengantarkan Indonesia menjadi negara yang tidak hanya berkutat dengan dirinya sendiri tetapi juga memiliki funsi dan peran strategis dalam percaturan dunia Internasional. Salah satu agenda internasional yang paling sukses dipelopori Indonesia adalah Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 di Bandung, dimana konferensi tersebut manjadi pelecut semangat bangsa Asia Afrika yang belum merdeka untuk memerdekakan diri.
Bung Karno juga merupakan pemimpin yang paling vokal menyuarakan agar menjadi bangsa yang mandiri, tidak bergantung pada bangsa asing meskipun pada saat itu Indonesia merupakan negara yang masih rapuh secara politik, ekonomi serta sosial. Secara logika Indonesia pada saat itu sangat membutuhkan bantuan negara-negara maju untuk menutup berbagai kekurangannya. Namun ternyata hal itu tidak dilakukan oleh Bung Karno. Beliau justru memiliki inisiatif untuk membangun kemandirian bangsa. Salah satu kebijakan paling berani yang diambil Soekarno adalah upayanya untuk mengganyang Malaysia, hal itu terjadi karena Soekarno sangat marah ketika Malaysia memutuskan untuk menjadi commonwealth atau negara persemakmuran Inggris. Soekarno beranggapan bahwa kepeutusan Malaysia tersebut bertentangan dengan ideologinya yang anti kolonialisme dan imperealisme. Hal itu merupakan suatu langkah luar biasa yang belum tentu berani diambil oleh Presiden Indonesia di era moderen ini.
Tetapi kepemimpinan Bung Karno ternyata tidak selamanya mulus. Duet antara duo proklamator RI harus berakhir karena Bung Hatta memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi wakil presiden. Pengunduran diri tersebut disinyalir akibat ketidakcocokan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta. Selain itu kepercayaan Bung Karno terhadap ideologi Nasakomnya yang membuat beliau dekat dengan orang-orang PKI menjadikannya sebagai seorang yang mulai dibenci oleh masyarakat. Lebih jauh hal, itu juga menjadi senjata ampuh bagi lawan-lawan politiknya untuk melengserkan kekuasaan Soekarno dari kursi kepresidenan. Meskipun berdasar TAP No III/ MPRS/63 beliau telah ditetapkan sebagai presiden seumur hidup.
Peristiwa G 30 S Sebagai Titik Balik Kepemimpinan Bung Karno
Setiap pemimpin memiliki masa kepemimpinannya masing-masing. Sebaik apapun kepemimpin seorang pemimpin pada akhirnya harus lengser dari kursi pemerintahan dikarenakan berbagai hal yang melatarbelakanginya. Untuk kasus Presiden Soekarno sendiri, ia lengser karena peristiwa Gerakan 30 September 1965, dimana pada saat itu terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa jendral. Meskipun hingga saat ini belum terungkap akan kebenaran latar belakang serta siapa dalang sesungguhnya dari peristiwa tersebut tetapi secara de facto peristiwa G 30 S adalah titik balik kepemimpinan Soekarno.
Ada bebarapa pendapat yang berkembang seiring terjadinya peristiwa G 30 S/PKI, pendapat-pendapat itu antara lain:
1. Teori Cornel Paper ( Benedict Anderson & Ruth T. McVey)
Teori ini mengatakan bahwa sesungguhnya peristiwa G 30 S adalah akibat konflik intern AD, karena kekecewaan terhadap kepemimpinan TNI-AD.
2. Teori Peter del Scoot
Peristiwa G 30 S meletus karena adanya keteribatan CIA yang menunggangi kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan akhir jatuhnya Soekarno. Seperti kita tahu ketegasan Soekarno untuk menolak kolonialisme dan imperialisme menjadi batu sandungan bagi Amerika untuk menguras sumber daya alam Indonesia. Hal ini seperti yang diungkapkan Presiden Amerika, Richard nixon, bahwa kejatuhan Soekarno merupakan hadih terbesar dari Asia Tenggara. Setelah rezim Soekarno berakhir dan digantikan Soekarno hubungan antara Indonesia dan Amerika menjadi sangat mesra.
3. Teori WF Wertheim
Teori ini menyatakan bahwa ada keterlibatan Soeharto dalam peristiwa ini. Hal itu terlihat dari kedekatannya dengan perwira AD yang terlibat dengan peristiwa 30 Sep. Di samping kedekatannya tersebut ada peristiwa Supersemar menjadi tanda tanya besar, karena dengan Sp tersebut Soeharto mengambil alih pemerintahan dari tangan Soekarno.
4. Teori Antony Dake
Soekarno mengetahui rencana dan perist tsb, hal ini berdasar dokumen CIA The Coup That Backfired )terbit th 1995. kepala penerangan hankam Brigjend Sugandi, memberitahukan hasil pembicaraannya dengan sudisman dan DN Aidit kepada presiden tentang rencana kudeta, namun presiden menganggap Sugandi komunis phobia.
5. Teori Domino : saling terkait beberapa teori.
6. Pendapat lain mengatakan bahwa sesungguhnya PKI dan AD sudah sejak lama bersaing. Mereka sama-sama berusaha memperebutkan kekuasaan tertinggi. Oleh sebab itu peristiwa G 30 S menjadi alasan untuk menghabisi PKI.
Terlepas dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa tersebut, yang jelas G 30 S telah membuat Presiden Soekarno kehilangan harkat dan martabatnya di depan rakyat. Rakyat pada saat itu telah kehilangan kepercayaan. Sikapnya yang cenderung otoriter dan memberi angin segar kepada kaum kiri membuat rakyat semakin meninggalkannya. Ia bahkan mengatakan bahwa peristiwa 1 Oktober 1945 merupakan riak kecil dalam gelombang yang besar. Ia menolak tuduhan bahwa PKI terlibat dalam peristiwa itu. Ia membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili tokoh-tokoh yang bersalah tetapi Ia tidak mau mengutuk PKI. Bahkan Presiden Soekarno terus menerus mempropagandakan Nasakom. Ini oleh rakyat dan ABRI diartikan sebagai membela PKI, karena itu popularitas dari hari ke hari semakin menurun (Mudjanto, 1989)
Kesalahan terbesar lain yang dilakukan Presiden Soekarno menurut Mudjanto (1989) adalah keputusannya mereshuffle Kabinet Dwikora pada tanggal 21 Februari 1966, dimana reshuffle tersebut tidak sesuai dengan Tritura yang disuarakan mahasiswa. Hal itu dikeranakan dalam reshuffle tersebut Presiden Soekarno menyingkirkan Jendral Nasution yang oleh rakyat begitu dihormati dan dianggap sebagai simbol anti komunis. Di sisi lain beliau justru memasukkan orang-orang yang di indikasi PKI atau pro PKI justru dimasukkan ke dalam kabinet. Sehingga kabinet ini semakin memperbesar kekecewaan rakyat terhadap presiden.
Meskipun sesungguhnya presiden memiliki perhitungan politik tersendiri mengapa ia memilih mengeliminasi nama Nasution dari jajaran kabinetnya. Berdasarkan tulisan A. Pambudi dalam Super Semar Palsu (2006) bahwa sesungguhnya Presiden Soekarno dan Nasution sudah lama berbeda haluan. Nasution mengharapkan bahwa ABRI juga memiliki kekuasaan dalam bidang politik hingga bisnis. Namun Presiden Soekarno tidak menginginkan adanya dwifungsi ABRI. Akibat keinginannya yang ditentang Soekarno maka pada tahun 1952 Jendral Nasution bersama anak buahnya melakukan kudeta dengan mengarahkan meriam ke arah istana. Namun kudeta tersebut gagal.
Supersemar yang akhirnya mengalihkan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto juga disinyalir sebagai rancangan matang dari Nasution-Soeharto Conection. Karena pada dasarnya mereka dihadapkan pada persoalan yang sama, yaitu bagaimana menjatuhkan musuh mereka, Soekarno. Maka bila dianalisis berdasarkan fakta tersebut adalah hal yang wajar ketika Presiden Soekarno memilih untuk menyingkarkan Nasution dari kursi kabinet apabila ia ingin mempertahankan kekuasaannya.
Pentingnya Kepercayaan Rakyat
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya bahwa jatuhnya orde lama adalah karena hilangnya kepercayaan rakyat terhadap Presiden Soekarno. Walaupun sesungguhnya dibalik semua peristiwa dan tragedi yang membuat rakyat tidak lagi percaya pada Soekarno adalah grand strategy lawan-lawan politiknya. Misalnya upaya Soeharto mendramatisir kondisi korban-korban G 30 S dengan mengtakan bahwa mereka disika sebelum dibunuh, disayat, di ambil bola mata, hingga di potong kemaluannya membuat rakyat semakin membenci PKI dan labih jauh semakin membenci Presiden Soekarno. Padahal sesungguhnya kondisi tersebut tidak benar adanya. Karena menurut kesaksian tim dokter Forensik dari Universitas Indonesia yang pada saat itu ikut mengotopsi korban tidak menyatakan demikian adanya.
Namun sayang rakyat terlanjur melihat dari perspektif berbeda. Untuk itu kepercayaan rakyat adalah hal yang sangat penting. Karena jabatan ketua, kepala atau bahkan presiden merupakan jabatan untuk memimpin banyak orang yang dengan kata lain setiap sikap, tindakan, dan kebijakannya harus didasarkan atas keinginan dan persetujuan rakyat. Tanpa adanya keinginan dan persetujuan rakyat maka posisinya sebagai pemimpin akan sangat rentan. Sehingga pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu mengakomodir kehendak-kehendak rakyat dan mampu mengambil kebijakan yang pro rakyat. Untuk itu, ia akan memiliki power yang kuat selama kepemimpinananya.
Grand Strategy
Terlepas dari kondisi sosial politik yang carut marut apada saat itu diakui atau tidak, fakta sejarah tahun 1965-1967 yang semakin hari semakin terungkap sedikit demi sedikit sesungguhnya menunjukkan bahwa peristiwa tersebut adalah sebuah grand strategy atau bahkan dapat dikatakan sebuah konspirasi yang telah direncanakan secara matang dan terstruktur untuk melengserkan kepemimpinan presiden, dalam hal ini adalah presiden Soekarno. Mereka yang terlibat sepertinya sangat kompleks dan rumit untuk ditelusuru satu per satu. Karena berdasakan beberapa teori yang berkembang sesungguhnya terdapat efek domino dimana pihak satu menginginkan lengsernya Soekarno kemudian ia menunggangi pihak lain dengan berbagai bantuan, pihak lain tersebut kemudian mendekati orang-orang dinilai memiliki pandangan yang sama tentang Bung Karno, kemudian mendoktrin masyarakat dengan informasi-informasi yang tidak akurat, membuat rakyat semakin membenci Soekarno dan pada akhirnya Soekarno benar-benar lengser dari kepemimpinannya.
Setelah segala upaya yang dilakukan akhirnya Presiden Soeharto menduduki kursi kepresidenan untuk menggantikan Presiden Soekarno karena pidato pertanggungjawabannya pada tanggal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara (9 Pokok UraianI) di tolak MPRS. Beliau kembali melengkapi pertanggungjawaban tersebut pada tanggal 10 Januari 1967, namun surat tersebut tidak memuakan karena dinilai hanya sebuah pengelakan tanggung jawab daripada pertanggungjawaban.
Karena alasan-alasan di atas maka pada tanggal 22 Februari 1967 MPRS mengeluarkan TAP XXXIII/MPRS/1967 yang isinya:
1. Mencabut kekuasaan negara dari Presiden Soekarno
2. Melarang Ir. Soekarno melakukan kegiatan politik sampai pemilu yang akan datang.
3. Mentapkan Jendral Soeharto sebagai Pejabat Presiden
Sejak saat itu kepemimpinan orde baru benar-benar berakhir dan secara resmi digantikan oleh orde baru.
Tags: